ilustrasi
Dalam beberapa dekade terakhir, pembangunan dipandandang
oleh banyak pihak tidaklah sememuaskan bagaimana hitung-hitungan diatas kertas.
Khususnya pembangunan di negara-negara dunia ketiga. Secara garis besar ada dua
hal mengapa hal ini dapat terjadi dijelaskan.
Yang pertama adalah tujuan pembangunan yang lebih diarahkan pada
kepentingan beberapa yang kaya, bukan kepada masyarakat yang memang butuh
ataupun ekosistem. Selanjutnya adalah standar hidup masyarakat negara-negara
kaya tidak cocok diterapkan pada negara-negara dunia ketiga, seperti ekpektasi
dari konsep pembangunan untuk menjadi seperti negara-negara kaya. Dari berbagai
persepsi utama pembangunan, pembangunan disebut bersifat unidimensional. Peningkatan
volume bisnis, melalui peningkatan kapital, baik dengan cara pinjaman maupun
lainnya. Ini diharapkan akan memunculkan trickle
down effect. Sistem Structural Adjusment Package dari World Bank, cukup menggambarkan
pembangunan unidimensional.
Akan tetapi kemudian semakin menimbulkan banyak diskursus
dan debat tentang efektifitas pembangunan, karena begitu banyak kegalalan dan
efek samping yang cukup berdampak buruk pada kondisi sosial dan lingkungan. Para
fundamentalis memecah asumsi-asumsi pembangunan dan kekayaan/pertumbuhan
ekonomi. Menurutnya pembangunan harus dimulai dari pertanyaan-pertanyaan. “Apa yang
ingin kita bangun?”, “Kenapa negara ingin membangun?”, “Apa kondisi institusi,
pengaturan dan pengalaman kita untuk memudahkan?”. Dari sinilah muncul visi yang disebut “Converser Society”. Yakni gaya hidup self sufficient serta kekuatan ekonomi lokal yang mandiri, tidak tergantung
pada GNP. Pada dasarnya membuat faktor produksi cukup untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat itu sendiri, tanpa alih-alih kepentingan sebagian orang. Sehingga pengorganisasian sumberdaya lokal
menjadi sebuah kebutuhan dalam memenuhi berbagai kebutuhan.
Ladakh, sebuah tempat di dekat Tibet dapat menjadi sebuah
pembuktian. Bagaimana masyarakat yang menjaga nilai-nilai budayanya dan hidup
bahagia, walau dalam kacamata para developmentalist
mungkin itu dianggap miskin. Malahan “pembangunan” yang membawa berbagai
norma-norma baru merusak tatanan dan nilai-nilai yang sudah mapan dan
kebahagian masyarakat dalam ukurannya.
Bahan bacaan kali ini menurut saya cukup utopis sekali jika
melihat kecondongan dari manusia. Tak bisa dipungkiri bahwa kebutuhan manusia
yang tidak akan pernah terkecukupi. Sehingga konsep Converser Society terlihat sangat utopis di adopsi. Terkhusus pada
masyarakat yang sudah sedikit melihat banyak hal didunia ini. Akan tetapi
cukup menarik karena menawarkan paradigma
yang cukup bertentangan dengan hal yan sedang berkembang di masyarakat
sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar