Senin, 27 Februari 2017

(tugas Manajemen Proyek Pembangunan) resume Week 2: WHAT DOES DEVELOPMENT MEAN? A REJECTION OF THE UNIDIMENSIONAL CONCEPTION

ilustrasi

Dalam beberapa dekade terakhir, pembangunan dipandandang oleh banyak pihak tidaklah sememuaskan bagaimana hitung-hitungan diatas kertas. Khususnya pembangunan di negara-negara dunia ketiga. Secara garis besar ada dua hal mengapa hal ini dapat terjadi dijelaskan. 
Yang pertama adalah tujuan pembangunan yang lebih diarahkan pada kepentingan beberapa yang kaya, bukan kepada masyarakat yang memang butuh ataupun ekosistem. Selanjutnya adalah standar hidup masyarakat negara-negara kaya tidak cocok diterapkan pada negara-negara dunia ketiga, seperti ekpektasi dari konsep pembangunan untuk menjadi seperti negara-negara kaya. Dari berbagai persepsi utama pembangunan, pembangunan disebut bersifat unidimensional. Peningkatan volume bisnis, melalui peningkatan kapital, baik dengan cara pinjaman maupun lainnya. Ini diharapkan akan memunculkan trickle down effect.  Sistem Structural Adjusment Package dari World Bank, cukup menggambarkan pembangunan unidimensional.

Akan tetapi kemudian semakin menimbulkan banyak diskursus dan debat tentang efektifitas pembangunan, karena begitu banyak kegalalan dan efek samping yang cukup berdampak buruk pada kondisi sosial dan lingkungan. Para fundamentalis memecah asumsi-asumsi pembangunan dan kekayaan/pertumbuhan ekonomi. Menurutnya pembangunan harus dimulai dari pertanyaan-pertanyaan. “Apa yang ingin kita bangun?”, “Kenapa negara ingin membangun?”, “Apa kondisi institusi, pengaturan dan pengalaman kita untuk memudahkan?”. Dari  sinilah muncul visi yang disebut “Converser Society”.  Yakni gaya hidup self sufficient serta kekuatan ekonomi lokal yang mandiri, tidak tergantung pada GNP. Pada dasarnya membuat faktor produksi cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat itu sendiri, tanpa alih-alih kepentingan sebagian orang.  Sehingga pengorganisasian sumberdaya lokal menjadi sebuah kebutuhan dalam memenuhi berbagai kebutuhan.

Ladakh, sebuah tempat di dekat Tibet dapat menjadi sebuah pembuktian. Bagaimana masyarakat yang menjaga nilai-nilai budayanya dan hidup bahagia, walau dalam kacamata para developmentalist mungkin itu dianggap miskin. Malahan “pembangunan” yang membawa berbagai norma-norma baru merusak tatanan dan nilai-nilai yang sudah mapan dan kebahagian masyarakat dalam ukurannya.


Bahan bacaan kali ini menurut saya cukup utopis sekali jika melihat kecondongan dari manusia. Tak bisa dipungkiri bahwa kebutuhan manusia yang tidak akan pernah terkecukupi. Sehingga konsep Converser Society terlihat sangat utopis di adopsi. Terkhusus pada masyarakat yang sudah sedikit melihat banyak hal didunia ini. Akan tetapi cukup  menarik karena menawarkan paradigma yang cukup bertentangan dengan hal yan sedang berkembang di masyarakat sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar